OperasiAblasio Retina ISI- Gejala apasaja yang saya alami sebelum terjadi Ablesio Retina.Begini teman2, kira2 1 - 2 tahun sebelum terjadi ablesio, sy sdh ad
Ablasioadalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen retina (RIDE). keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia setengah baya atau lebih tua. Ablasio retina (retinal ablation) juga dikenal ablasi retina adalah lepasnya retina dari tisu penopangnya yang menutupi permukaan di bagian belakang mata.
Waldensius Girsang, dokter spesialis mata dikukuhkan sebagai doktor oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM) pada Senin (3/2) yang lalu. Gelar doktor ini diberikan usai Girsang merampungkan penelitiannya tentang metode baru dalam operasi mata dengan kondisi ablasio retina atau lepasnya retina dari jaringan belakang bola mata.
Saatmelakukan operasi ablasio retina dapat dilakukan prosedur pengangkatan gel yang berada di bagian tengah mata dan dapat menggantikannya dengan gelembung udara, gas ataupun minyak silicon. Semua prosedur operasi harus dipatuhi dengan baik oleh para pasien yang menderita ablasio retina. Biaya Operasi pada Ablasio Retina
pemakaianminyak silikon dianjurkan pada ablasio retina yang kompleks dan RDP berat.8,12,13 Selain minyak silikon, pemakaian cairan perfluorokarbon (PFC) mulai diperkenalkan pada tahun 1987oleh Chang untuk terapi Giant retinal Tears, RD dengan Proliferative Vitreo Retinopathy (PVR), dan ablasio retina traumatik. Imamura dkk. melaporkan tentang
Menemukanmetode baru untuk operasi pasien yang mengalami ablasio retina atau terlepasnya retina mata mengantarkan Waldensius Girsang meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude ANTARA News sulteng seputar sulteng
RG3twE6. Evakuasi Retina merupakan kelanjutan dari operasi Ablasio retina yang di lakukan oleh istri saya. Hal ini wajib di lakukan dan merupakan proses pengambilan silikon yang di tanam di dalam mata yang terkena Ablasio Retina. Operasi Evakuasi Retina Kelanjutan Dari Operasi Ablasio Retina - Sebelumnya pernah saya membuat cerita pengalaman saya mengantarkan istri saya untuk menjalani pengobatan Ablasio Retina di Rumah Sakit Mata JEC yang terletak di kedoya. Saat itu saya benar-benar tidak menyangka jika istri saya harus segera melakukan operasi mata untuk mengatasi masalah Ablasio Retina ini. Namun Dokter yang menangani istri saya meyakinkan jika tidak segera dilakukan operasi, ada kemungkinan mata istri saya tidak dapat melihat. Baca Juga Jakarta Eye Center JEC Rumah Sakit Mata Dengan Fasilitas Hotel Bintang Lima Dan akhirnya kita pun menjalani operasi ini dan Alhamdulillah istri saya dapat melihat dengan normal namun matanya harus di tanam semacam silikon agar retina mata istri saya dapat menempel kembali. Operasi ini ada dua tahap, yang pertama untuk memasang retina dengan memasukkan silikon pada mata dan yang kedua merupakan proses pengambilan. Untuk proses pengambilan dokter menyebutnya dengan nama Evakuasi Retina. Dimana silikon yang waktu pertama dokter tanam di mata kanan istri saya wajib untuk di ambil. A post shared by jalanserudotcom on Jul 15, 2019 at 304am PDT Untuk batas pengambilannya bisa kapan saja istri saya siap namun jangan sampai silikon yang tertanam di mata menjadi keruh. Dan jika silikon tidak di ambil, ada kemungkinan mata akan terkena penyakit glukoma pada mata yang membuat mata kamu tidak bisa melihat. Sebenernya deg deg kan juga saat sang istri harus melakukan operasi ini. Salah satu yang dipikirkan adalah masalah biaya. Untuk menjalani operasi ini memang sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tapi untuk proses pengambilan silikon kami mengeluarkan biaya sekitar Rp dengan sistem deposit dimana kamu harus membayar deposit terlebih dulu sebelum kamu menjalani operasi. Jika terjadi kelebihan biaya maka dana tersebut akan di kembalikan kepada pasien yang melakukan operasi. Sebenarnya pengalaman ini kami share agar para pembaca mau memeriksa mata kalian agar tidak terkena Ablasio Retina. Hal ini bisa di cegah kalo kamu mau memeriksa mata kamu. Coba deh cek silsilah keluarga kamu, apakah salah satu anggota keluarga kamu ada yang terkena panyakit mata. Salah satunya Ablasio Retina. Jika iya tidak ada salahnya untuk memeriksakan mata kamu di sini. Selain pelayanannya memuaskan fasilitasnya juga sangat lengkap. Dan jika terdapat indikasi Ablasio retina mata kamu akan cepat ketahuan dan cepat di cegah dengan proses Laser pada mata. Proses ini jauh lebih terjangkau karena retina mata kamu belum terlanjur lepas dan menutupi mata kamu. Baca Juga 7 Tips Belanja Murah Baju Lebaran Di Thamrin City Sudah hampir 2 minggu setelah istri saya melakukan operasi pengambilan silikon di JEC, dan sampai saat ini Alhamdulillah tidak ada keluhan dari mata yang telah di operasi dan mudah-mudahan retina istri saya tidak terlepas lagi. Karena dokter bilang retina mata bisa kembali terlepas jika istri saya melakukan aktivitas berat seperti angkat beban atau melakukan gerakan-gerakan yang sangat extream. Nah untuk kamu yang matanya menurut kamu sehat, lebih baik kamu juga harus memeriksa mata untuk memastikan mata kamu sehat. Karena mata itu adalah jendela dunia yang wajib untuk kamu jaga agar kamu bisa melihat hal-hal indah yang Tuhan ciptakan.
Retina memiliki peran vital dalam penglihatan. Penyakit yang menyerang retina bisa membuat peran bagian mata ini terganggu bahkan menyebabkan kebutaan. Salah satunya adalah ablasio retina. Penyakit apakah itu, apa penyebab dan gejalanya serta bagaimana cara menyembuhkannya? Apa Itu Ablasio RetinaPenyebab Ablasio RetinaAblasio Retina RegmatogenAblasio Retina TraksionalAblasio Tetina EksudatifGejala Ablasio RetinaGejala Ablasio RegmatogenGejala Ablasio TraksionalGejala Ablasio EksudatifCara Menyembuhkan Ablasio RetinaPneumatic RetinopexyLaser FotokuagulasiScleral bucklingCryosurgery CryotherapyVitrektomiMencegah Ablasio Retina dengan Lasik Apa Itu Ablasio Retina Ablasio retina adalah kondisi terpisah atau terlepasnya lapisan retina sensorik dari epitel pigmen retina RPE. Atau secara sederhana, lepasnya retina dari tempat normalnya. Terlepasnya lapisan retina sensorik dari RPE ini menyebabkan bergesernya fokus sinar sehingga tajam penglihatan menurun. Ablasio retina merupakan kondisi darurat yang bisa mengancam penglihatan. Bahkan ia bisa menyebabkan kebutaan permanen. Karenanya diperlukan deteksi dini serta penanganan yang cepat dan tepat untuk menghindari ancaman tersebut. Penyebab Ablasio Retina Sejumlah faktor yang dapat berkontribusi terhadap timbulnya ablasio retina antara lain usia, mata minus miopia tinggi, trauma, riwayat diabetes, dan beberapa riwayat kelainan imunologik. Berdasarkan patofisiologi, ablasio retina terbagi menjadi tiga jenis yakni ablasio retina regmatogen atau rhegmatogenous retinal detachment RRD, ablasio retina traksional atau tractional retinal detachment TRD, dan ablasio retina eksudatif. Ketiganya memiliki penyebab yang berbeda. Ablasio Retina Regmatogen Ablasio ini paling sering terjadi. Pada ablasio ini, proses lepasnya lapisan retina didahului proses yang kompleks dengan faktor presdisposisi berupa defek seluruh ketebalan pada retina dan pencairan vitreus. Ada dua faktor yang menyebabkan defek retina. Pertama, degenerasi perifer berupa penipisan retina di daerah perifer. Kedua, retina robek akibat tarikan jaringan vitreus. Ablasio Retina Traksional Kelainan retina ini terjadi akibat respons dari kondisi iskemik retina. Meskipun dapat terjadi di berbagai area retina, umumnya ia terjadi di daerah polus posterior yakni makula serta papil saraf optik. Ablasio jenis ini tidak diawali dengan robeknya retina seperti pada ablasio regmatogen. Ablasio Tetina Eksudatif Ablasio ini juga merupakan kondisi sekunder. Penyebab ablasio jenis ini adalah adanya proses inflamasi di jaringan uvea posterior. Yakni retina dan koroid. Proses inflamasi tersebut akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular dan menyebabkan eksudasi cairan serum ke ekstravaskular. Nah, eksudasi cairan inilah yang ketika berakumulasi di ruang subretina akan menyebabkan terpisahnya lapisan retina dari epitel pigmen. Baca juga Cara Menghilangkan Mata Panda Gejala Ablasio Retina Yang termasuk bahaya dari kelainan retina ini, umumnya ia tidak terasa sakit pada gejala awal. Inilah yang membuat sering kali ablasio tidak disadari telah terjadi dan bisa menyebabkan kebutaan jika tidak segera mendapat penanganan yang cepat dan tepat. Kendati demikian, ada beberapa gejala ablasio retina yang muncul. Antara lain adalah gejala sebagai berikut Munculnya floaters pada lapang pandang. Tampak seperti bayang-bayang, nyamuk hingga cacing yang berterbangan di lapang pandang. Berbeda dengan floaters akibat kurang tidur, floaters yang menjadi gejala ablasio biasanya tidak akan hilang meski sudah istirahat atau tidur. Terjadinya fotopsia atau kilatan cahaya. Rasanya seperti sensasi terpapar cahaya blitz kamera. Awalnya hanya sesekali tetapi makin lama makin sering. Jika terjadi gejala ini, segera periksa ke dokter mata. Penglihatan mulai kabur, ketajaman penglihatan menurun, dan mata terasa berat. Munculnya tirai hitam’ pada penglihatan. Ini sudah masuk gejala berat. Sebab ia muncul karena retina yang sudah lepas dan menutupi sebagian lapang pandang. Gejala Ablasio Regmatogen Gejala awal ablasio regmatogen adalah fotopsia dan floaters. Lalu menyusul gangguan lapang pandang sampai penurunan tajam penglihatan. Gejala Ablasio Traksional Keluhan yang sering pasien alami adalah tajam penglihatan turun mendadak. Juga munculnya floaters akibat ruptur neovaskular atau perdarahan vitreus. Gejala Ablasio Eksudatif Keluhan yang sering dialami penderita ablasio eksudatif adalah penglihatan menurun secara progresif. Juga keluhan mata merah serta munculnya floaters. Baca juga Biaya Operasi Lasik Cara Menyembuhkan Ablasio Retina Satu-satunya cara menyembuhkan ablasio retina adalah dengan tindakan bedah alias operasi retina. Khususnya untuk ablasio regmatogen dan traksional. Saat ini ada lima jenis operasi untuk menyembuhkan ablasio retina, yaitu Pneumatic Retinopexy Operasi ini untuk menangani ablasio retina yang belum terlalu parah. Prosedurnya dengan membekukan area retina yang rusak untuk memasukkan gelembung ke rongga vitreous. Retina bakal terdorong dan menempel ke posisi semula. Laser Fotokuagulasi Pada prosedur operasi ini, sinar laser ditembakkan melewati lensa menuju area retina yang robek. Sinar laser ini akan membuat jaringan parut menempel pada jaringan lainnya dan menambal bagian yang robek. Scleral buckling Pada prosedur operasi retina ini, dokter mata akan menjahit semacam kumpulan karet silikon pada sklera yang lokasinya di bagian luar putih mata. Jahitan ini dibuat permanen. Cryosurgery Cryotherapy Yakni prosedur operasi dengan mendinginkan retina untuk menghancurkan jaringan yang rusak. Vitrektomi Pada operasi ini, gel vitreous dari mata diambil. Lalu memberikan gelembung gas atau minyak silikon sebagai gantinya. Cairan pengganti ini kemudian diambil 2-8 bulan setelahnya. Baca juga Perbedaan Femto Lasik dan Relex Smile Mencegah Ablasio Retina dengan Lasik Seperti penjelasan pada penyebab ablasio retina di atas, salah satu faktor yang berkontribusi mengakibatkan kelainan bagian mata ini adalah miopia dengan minus tinggi. Yakni di atas D. Lalu apa kaitannya dengan Lasik? Nah, minus tinggi ini bisa dikoreksi secara permanen dengan lasik. Baca Operasi Lasik Mata Minus Tinggi Lasik adalah singkatan dari Laser Assisted In-Situ Keratomielusis. Sebenarnya, Lasik adalah salah satu metode dari Laser Vision Correction LVC. Yakni prosedur operasi laser untuk mengoreksi kelainan refraksi sehingga terbebas dari kacamata dan lensa kontak. LVC sendiri ada tiga metode yakni PRK, Femto Lasik, dan Relex Smile. Namun masyarakat umum sering menyebut ketiganya dengan istilah yang sama yaitu Lasik. Nah, di sinilah hubungannya. Ketika mata minus tinggi telah terkoreksi secara permanen, maka risiko ablasio retina menjadi berkurang. Dengan kata lain, bisa dicegah. Tentu jika tidak ada faktor lain yang dominan. []
ArticlePDF Available AbstractRetinal detachment is a separation between retinal photoreceptor layer and retinal epithelial layer below. Retinal detachment happens in 67% people with myopia. Retinal detachment also happens in people with cataract surgery history and blunt trauma in the eye. Patients with retinal detachment may present with a history of photopsia. The patient also presents with visual field loss, usually starts in the periphery, and then moving to the central. Physical examination can be done with fundoscopy examination that may present with a retinal detachment if the eye was moving. Radiological examination can be done to support the diagnosis. Management of retinal detachment is by vitrectomy to lift up the material that causing traction, subretinal internal liquid drainage, and injection of air or gasses to maintain retinal position. A man aged 53 years old come with visual loss in the right eye. Patient felt that there is a foreign object in his right eye, so the patient rub his right eye to release the foreign object. Patient’s right eye only can see blurred from the side, but in the central he can not see anything. The physical examination presents with a retinal detachment in the right eye. Patient has controlled hypertension. There is no previous allergic or operative history. The patient receives an operative vitrectomy with general anesthesia. The patient receives preoperative, intraoperative, and postoperative to support the surgery.. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 16 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI Manajemen anestesi pada ablasio retina laporan kasus Wina Nazula Makrufa1 1Fakultas Kedokteran Universitas Lampung *Correspondent Email Diterima 15 Januari 2022 Disetujui 27 Februari 2022 Diterbitkan 28 Februari 2022 Abstract. Retinal detachment is a separation between retinal photoreceptor layer and retinal epithelial layer below. Retinal detachment happens in 67% people with myopia. Retinal detachment also happens in people with cataract surgery history and blunt trauma in the eye. Patients with retinal detachment may present with a history of photopsia. The patient also presents with visual field loss, usually starts in the periphery, and then moving to the central. Physical examination can be done with fundoscopy examination that may present with a retinal detachment if the eye was moving. Radiological examination can be done to support the diagnosis. Management of retinal detachment is by vitrectomy to lift up the material that causing traction, subretinal internal liquid drainage, and injection of air or gasses to maintain retinal position. A man aged 53 years old come with visual loss in the right eye. Patient felt that there is a foreign object in his right eye, so the patient rub his right eye to release the foreign object. Patient’s right eye only can see blurred from the side, but in the central he can not see anything. The physical examination presents with a retinal detachment in the right eye. Patient has controlled hypertension. There is no previous allergic or operative history. The patient receives an operative vitrectomy with general anesthesia. The patient receives preoperative, intraoperative, and postoperative to support the surgery. Keywords Anesthesia; retinal detachment; surgery; vitrectomy Retina merupakan bagian yang sensitif terhadap cahaya. Bagian luar lapisan retina dilapisi oleh sel fotoreseptor yang berguna untuk mengaktifkan sinyal pada cahaya. Pada kondisi normal, lapisan sel fotoreseptor ini berdekatan dengan koroid dan epitel pigmen retina. Sel fotoreseptor ini bergantung kepada epitel untuk metabolism. Apabila sel ini terlepas dari koroid oleh karena ablasio retina, maka hal ini dapat menimbulkan kerusakan yang irreversibel. Lepasnya retina ini terjadi ketika cairan vitreus masuk melalui robeknya retina yang memicu terjadinya pemisahan antara retina dengan koroid Yorston, 2018; Kwok, et al. 2020. Insidensi terjadinya ablasio retina pada populasi umum sekitar 0,01-0,02% dan berkaitan dengan sosioekonomi seseorang. Laki-laki ditemukan dua kali lebih banyak daripada perempuan. Mata kanan lebih sering terjadi dibandingkan dengan mata kiri. Puncak insidensi kejadian ablasio retina ini pada dekade keenam kehidupan. Populasi Asia memiliki onset umur yang lebih muda dibandingkan dengan etnis lainnya Qureshi & Steel,2020. Ablasio retina sering terjadi pada orang dengan usia lanjut, riwayat miopia, mempunyai riwayat operasi, dan riwayat trauma. Pasien dengan miopia lebih dari dengan -3 D meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina sepuluh kali dibandingkan orang normal. Miopia menyebabkan pencairan vitreous humor yang lebih cepat, sehingga menyebabkan ablasio retina lebih sering terjadi pada pasien dengan rabun jauh dibandingkan dengan orang tanpa gangguan refraksi. Selain itu riwayat operasi sebelumnya, terutama operasi katarak juga mempercepat pencairan vitreus sehingga menyebabkan insidensi terjadinya. Trauma tumpul pada mata dapat menyebabkan robekan yang luas pada retina. Pada usia tua juga menyebabkan vitreous menjadi cair dan lalu kolaps. Ketika ini terjadi dapat menyebabkan penarikan pada retina yang menyebabkan robekan retina Yorston, 2018; Feltgen & Walter, 2014. Ablasio retina terbagi menjadi tiga, yaitu ablasi regmatogenosa, ablasi traksi, dan ablasi serosa atau hemoragik. Ablasi regmatogenosa merupakan bentuk tersering dari ablasio retina, ditandai dengan adanya pemutusan total sel sensorik retina, traksi vitreus dengan derajat bervariasi, dan mengalirnya cairan vitreus melalui robekan ke ruang subretina. Ablasi traksi merupakan lepasnya jaringan retina yang terjadi akubat tarikan jaringan parut pada badan kaca yang akan menyebabkan ablasio retina dan penglihatan turun tanpa rasa sakit. Ablasi serosa atau hemoragik merupakan ablasi yang terjadi akibat penimbunan cairan di bawah retina sensorik dan terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid Riordan & Whitcher, 2009; Ilyas, 2010. 17 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI Pada anamnesis ablasio retina biasanya ditemukan tampak adanya pijaran api, tampak adanya bercak yang mengambang pada mata eye floaters, penurunan lapang penglihatan yang biasanya dimulai dari perifer lalu menjalar ke tengah. Pemeriksaan fisik untuk pemeriksaan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara funduskopi untuk melihat adanya kerusakan atau robekan pada retina. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan reaksi pupil pada tiap mata untuk memastikan tidak adanya defek pupil aferen, pemeriksaan lapang pandang konfrontasi, dan pemeriksaan tekanan intraokular. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan USG, CT Scan dan MRI. Apabila tersedia, optical coherence tomography OCT dapat menjadi cara yang efektif untuk mendiferensiasi tipe-tipe ablasio retina dan mendiferensiasi ablasio retina dari kelainan retina yang lain Blair & Cyzy, 2021; Steel, 2014. Salah satu tatalaksana yang dapat dilakukan untuk pasien ablasio retina adalah dengan cara pars plana vitrektomi. Pars plana vitrektomi adalah prosedur operasi yang dilakukan dengan cara menghilangkan vitreus dari mata melalui pars plana. Retina dibuat menjadi datar pada saat intraoperativ e menggunakan minyak silikon atau gelembung gas dan air mata dihambat dengan adhesi korioretinal yang diinduksi dengan endofotokoagulasi atau kriopeksi. Gas atau minyak silikon ini diinjeksi ke kavitas vitreus untuk menyediakan tamponade untuk retina untuk sembuh Schwartz & Flynn, 2008; Znaor,et al. 2019 Pada pasien dengan riwayat hipertensi perlu dilakukan persiapan preoperatif minimum satu minggu sebelum operasi dilakukan. Pasien dengan riwayat hipertensi dapat diberikan medikasi preoperatif berupa diuretik, calcium channel blockers CCB, angiotensin-converting enzyme inhibitor ACEi, atau angiotensin receptor blocker ARB untuk pengobatan lini pertama hipertensi. Target tekanan darah untuk pasien dengan hipertensi. Pasien dengan baseline tinggi tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 80 mmHg ditargetkan untuk mempertahankan tekanan darah diantara 80-100% dari baseline dan tekanan darah sistolik ≤ 160 mmHg Gill, 2021; Meng, et al. 2018. METODE PENELITIAN Penulis menggunakan jenis metode penelaahan kasus dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal. Studi kasus ini yang diteliti hanya berbentuk unit tunggal, namun dianalisis secara mendalam meliputi berbagai aspek yang cukup luas, serta penggunaan berbagai teknis secara integratif. HASIL DAN PEMBAHASAN Tn. H, laki-laki usia 53 tahun, datang ke poli mata RS Abdul Moeloek dengan keluhan mata kanan pasien buram. Pada awalnya sekitar 3 hari yang lalu, pasien merasakan adanya benda asing yang masuk ke mata kanannya. Setelah itu, pasien berusaha untuk mengeluarkan benda asing tersebut dengan cara menggosok-gosokkan mata kanannya menggunakan tangan. Setelah itu, pasien tidak bisa melihat dengan jelas. Mata kanan pasien hanya bisa melihat bayangan kabur pada tepi samping, namun pada penglihatan di tengah tidak dapat terlihat sama sekali. Mata kiri pasien tidak mengalami gangguan. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami gangguan penglihatan. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 1 tahun yang lalu dan rutin minum obat amlodipine. Riwayat alergi dan operasi sebelumnya tidak ada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos me ntis, nadi 90 x/menit, respirasi 18 x/menit, suhu 36,5°C, saturasi oksigen 99%. Berat badan pasien 73 kg dan tinggi badan pasien 167 cm. Pada pemeriksaan kepala dan leher pasien tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan mata pasien tidak ditemukan adanya konjungtiva pucat dan sklera ikterik. Pupil pasien isokor dan refleks kedua mata pasien positif. Pada pemeriksaan funduskopi tampak adanya robekan retina pada mata kanan pasien, sedangkan pada mata kiri pasien tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan thorak dan abdomen pasien normal. Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit, dan kimia darah pasien dalam batas normal. Pemeriksaan radiologi foto thorak pasien juga dalam batas normal. Berdasarkan data yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut maka diagnosis pada pasien ini adalah ablasio retina oculi dextra dan direncanakan untuk tindakan vitrektomi. Pada saat kunjungan preoperatif pasien menyatakan tidak ada alergi obat ataupun makanan. Pasien mengonsumsi obat amlodipine 10 mg. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Skor American Society of Anesthesiologist ASA pasien adalah II. Pasien dipuasakan sejak 12 jam sebelum mulai operasi. Gigi atas dan bawah pasien tampak normal, tidak tampak adanya kelainan pada wajah dan rongga mulut. Skor malampati pasien adalah 3. Tidak ada obstruksi atau gangguan mobilitas pada leher. Pada pasien diberikan rehidrasi cairan kristaloid sebanyak 113 ml/jam sesuai dengan berat badan pasien dan lama puasa pasien untuk mencukupi kebutuhan cairan intravaskular sebelum mulai operasi. 18 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI Pada pasien dilakukan induksi secara intravena dengan trias anestesi yaitu propofol 130 mg sebagai hipnotik atau sedatif, fentanyl 100 mcg sebagai analgesik, dan atracurium 35 mg sebagai pelumpuh otot. Pasien dilakukan intubasi endotracheal tube ETT jenis non kinking menggunakan nomor 7,5 dengan kedalaman 23 cm. Setelah itu dilakukan auskultasi pada kedua lapang paru untuk dan didapatkan suara napas terdengar sama pada kedua lapang paru. Selama operasi, pasien diberikan oksigen 3 lpm, N₂O sebanyak 3 lpm, dan sevoflurane 2 vol%. Total input cairan pada pasien sebanyak 1000 cc dengan blood loss sebanyak 45 ml. Pada saat operasi berlangsung ditambahkan efedrin 5 mg. Operasi berlangsung selama 3 jam. Saat operasi dilaksanakan, tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen dalam batas normal. Hemodinamik pasien juga stabil. Pada saat operasi selesai, pasien diberikan ketorolac 60 mg, tramadol 100 mg, neostigmine 1,5 mg dan atropine sulfat sebanyak 0,5 mg. Setel ah operasi, keadaan umum pasien tampak baik dan kondisi pasien stabil, sehingga pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan perlu diawasi aktivitas motoric pasien, respirasi, tekanan darah, kesadaran, dan saturasi oksigen pasien. Skor Alderete pasien > 8, sehingga pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Ablasio retina merupakan pemisahan sel neurosensori retina dari epitel retina di bawahnya. Ablasio retina merupakan permasalahan mata yang serius dan dapat menyebabkan hilangnya penglihatan yang permanen. Ketika lapisan neurosensori terpisah dengan lapisan epitel, maka bagian tersebut akan kehilangan sumber oksigen dan nutrisi yang dapat menyebabkan kematian jaringan Blair & Cyzy, 2021; Steel, 2014. Permasalahan utama pada pasien adalah pasien memiliki riwayat hipertensi dan kehilangan cairan. Oleh karena itu, sebelum menjalani operasi pasien diberikan amlodipine 10 mg dengan pemberian satu kali sehari. Amlodipine merupakan kelompok calcium channel blocker CCB. CCB menginhibisi pembukaan kanal kalsium L-type voltage-gated, sehingga ketika influks kalsium diinhibisi dapat menyebabkan penurunan kontraksi sel otot pada pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan tekanan darah dapat menurun karena penurunan afterload. Agen anestesi inhalasi dapat menurunkan kalsium pada intraseluler, sehingga dapat menguatkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik negatif dari CCB Yancey, 2018; McKeever & Hamilton, 2021. Pada pasien ini didapatkan keadaan umum sakit sedang, tingkat kesadaran compos mentis, dan tanda-tanda vital yang normal. Tekanan darah pasien pada saat pemeriksaan adalah 140/80 mmHg. Pasien dengan hipertensi diberikan premedikasi dengan tujuan untuk menurunkan risiko terjadinya gangguan kardiovaskuler, serebrovaskuler, perdarahan dan mortalitas pada saat pembedahan. Pasien memiliki tekanan darah dengan baseline yang tinggi sistolik ≥ 130 mmHg dan diastolik ≥ 80 mmHg. Tekanan darah pasien dipertahankan diantara 80-100% dari baseline dan tekanan darah sistolik dipertahankan ≤ 160 mmHg Meng, et al. 2018; Aronow, 2017. Pasien dipuasakan sebelum operasi dimulai. Puasa sebelum operasi bertujuan untuk meminimalisasi risiko terjadinya regurgitasi, muntah, aspirasi, dan komplikasi pada saat pemberian anestesi atau saat operasi dimulai. Pada pasien dewasa disarankan untuk puasa selama 6-8 jam sebelum operasi dimulai Njoroge, et al. 2017; Butterworth, et al. 2013. Pasien yang dipuasakan sebelum operasi dimulai tanpa adanya asupan cairan membutuhkan cairan pengganti untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien. Kebutuhan cairan rumatan dapat dihitung menggunakan cara untuk 10 kg berat badan pertama dikalikan dengan 4 ml/kg/jam, 10 kg kedua dikalikan dengan 2 ml/kg/jam, dan tiap kg selanjutnya dikalikan dengan 1 ml/kg/jam. Berat badan pasien adalah 73 kg, sehingga kebutuhan cairan rumatan pasien adalah 113 ml/jam. Untuk cairan pengganti puasa dapat dihitung menggunakan kebutuhan cairan rumatan pasien dikalikan dengan lamanya puasa. Pasien puasa selama 12 jam, sehingga didapatkan hasil kebutuhan cairan pengganti puasa pasien adalah sebanyak 1356 ml Butterworth, et al. 2013. Pada pasien ini dilakukan tindakan vitrektomi sebagai tatalaksana ablasio retina yang dialami. Pasien diberikan anestesia umum sebelum dilakukan operasi. Vitrektomi merupakan salah satu tindakan operasi yang membutuhkan waktu yang lama dan termasuk tindakan yang sulit sehingga teknik anestesi yang sesuai dilakukan adalah anestesi umum Na, et al. 2018. Induksi yang dilakukan pada pasien melalui intravena. Propofol sebanyak 130 mg diberikan kepada pasien untuk memberikan efek hipnotik atau sedatif. Propofol dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB memberikan efek hipnotik atau sedatif melalui inhibisi neurotransmiter γ-aminobutyric acid GABA pada reseptor GABA. Propofol mempunyai waktu paruh yang cepat dan waktu sensitivitas yang cepat, sehingga pasien biasanya akan bangun 4-5 menit setelah pemberian. Propofol memberikan efek samping nyeri pada lokasi injeksi, sehingga biasanya diberikan lidokain intravena sebelum diberikan bolus propofol. Selain itu propofol juga menyebabkan hipotensi. Propofol juga terbukti dapat menurunkan tekanan intraocular Folino, et al. 2021; Sahinovic, 2018; Akbari, et al. 2015. Pasien diberikan fentanyl sebanyak 100 mcg sebagai analgesik. Dosis fentanyl adalah 1-2 mcg/kgBB. Fentanyl merupakan sintetik opioid yang memengaruhi sistem reseptor opioid pada otak yang 19 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI melibatkan kontrol emosi, nyeri, dan adiktif. Fentanyl memiliki efek samping berupa depresi napas, hipotensi, kebingungan, mual, halusinasi, dan delirium Ramos-Matos, et al. 2021. Pasien diberikan atracurium sebanyak 35 mg. Dosis atracurium adalah 0,5-0,6. Atracurium merupakan salah satu nondepolarizing neuromuscular blockers. Atracurium bekerja kompetitif dengan asetilkolin antagonis yang berikatan dengan reseptor nikotinik pada membrane post sinaptik. Oleh karena itu, atracurium mencegak ikatan asetilkolin sehingga neuron motorik tidak dapat depolarisasi. Atracurium tidak memberikan efek pada tekanan intraocular Butterworth, et al. 2013; Chalermkitpanit, et al. 2020. Pada pasien dipasang endotracheal tube ETT jenis non kinking dengan ukuran 7,5. Jenis non kinking dipilih karena pada pasien operasi mata karena apabila menggunakan jenis kinking akan memiliki risiko berupa sirkuit napas terlepas dan ekstubasi yang tidak disengaja disebabkan karena lokasi pembedahan dekat dengan jalur napas. Oleh karena itu, risiko ini dapat diminimalisasi dengan cara menggunakan ETT non kinking Butterworth, et al. 2013. Pasien diberikan inhalasi berupa oksigen 3 lpm, N₂O 3 lpm, dan sevoflurane 2 vol%. Sevoflurane merupakan gas tidak berwarna, mudah menguap, tidak mudah terbakar, dengan bau yang khas. Sevoflurane mempunyai minimal alveolar concentration MAC sebesar 2,05%. Sevoflurane tidak mempunyai efek iritasi, sehingga sering digunakan untuk induksi inhalasi baik pada anak-anak maupun pada Selama operasi, total cairan yang diberikan sebanyak 800 cc yang termasuk dengan cairan maintenance dan penggantian cairan selama operasi. Kehilangan darah selama operasi adalah 45 ml . Kehilangan darah tersebut kurang dari 10-20% dari total volume darah sehingga pasien tidak diberikan transfusi darah Butterworth, et al. 2013. Allowable blood loss pasien didapatkan dari estimated blood volume EBV x hematokrit awal – hematokrit 30% x 3 sehingga didapatkan hasil ml. Jumlah ini masih dalam rentang allowable blood loss sehingga kehilangan darah masih bisa diatasi dengan cairan kristaloid 800 cc. Kebutuhan cairan basal selama operasi pasien didapatkan dari kebutuhan cairan basal dikalikan dengan lamanya operasi, sehingga didapatkan hasil kebutuhan cairan basal selama operasi sebanyak 339 ml/jam. Vitrektomi termasuk ke dalam bedah sedang, sehingga untuk cairan pengganti sebanyak 4-6 ml/kgBB, sehingga didapatkan jumlah 438 ml. Total kebutuhan cairan pasien selama operasi sebanyak 822 ml. Oleh karena itu, pasien diberikan tatalaksana pemberian ringer laktat sebanyak 800 cc. Pasien diberikan efedrin sebanyak 5 mg pada saat operasi dilaksanakan. Efedrin merupakan agonis alfa dan beta adrenergik. Pada saat induksi, pasien diberikan propofol. Propofol merupakan obat hipnotik short acting yang digunakan untuk induksi dan pemeliharaan pada anestesia umum. Pemberian propofol sering diikuti dengan penurunan tekanan darah dan denyut jantung yang signifikan. Efedrin dapat digunakan untuk baik pencegahan maupun tatalaksana hipotensi yang disebabkan oleh induksi anestesi Lonjaret, et al. 2014; Masjedi, et al. 2014. Pada saat operasi telah selesai dilaksanakan, pasien diberikan ketorolac 60 mg, tramadol 100 mg, neostigmine1,5 mg, dan atropine sulfat 0,5 mg. Ketorolac termasuk dari golongan non steroid anti inflammatory drugs NSAID yang digunakan untuk tatalaksana nyeri ringan sampai sedang pada postoperatif. Ketorolac menginhibisi isoenzim cyclo-oxygenase COX sehingga dapat mengurangi pembentukan prostaglandin yang memicu adanya nyeri dan inflamasi pada tempat trauma McNicol,et al. 2021. Tramadol merupakan agen analgesik yang bekerja melalui dua jalur, yaitu sebagai agonis opioid lemah dan inhibitor neurotransmiter monoamine. Tramadol telah dibuktikan dapat mengatasi nyeri postoperatif sedang sampai berat. Penggunaan tramadol untuk dewasa dapat diberikan 50 -100 mg tiap 4-6 jam apabila dibutuhkan, dengan dosis maksimum sebesar 400 mg/hari Martinez, et al. 2015. Residual penghambat neuromuskular postoperatif merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan keselamatan pasien. Neostigmine digunakan sebagai antikolinesterase sebagai pengembalian penghambat neuromuskular. Neostigmine menginhibisi pemecahan asetilkolin dan meningkatkan jumlah asetilkolin pada neuromuscular junction Luo, et al. 2018. Atropine sulfat berfungsi sebagai anti sialagogue atau efek anti vagal dan bradikardi. Atropine bekerja sebagai kompetitif reseptor antagonis muskarinik reversibel, yaitu obat antikolinergik. Atropine dapat menurunkan sekresi saliva pada pasien dengan intubasi. Selain itu juga atropine merupakan obat lini pertama untuk bradikardia simptomatik McLendon & Preuss, 2021. Setelah kondisi pasien stabil, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pada ruang pemulihan perlu diobservasi tanda-tanda vital, 6B breath, blood, brain, bowel, bladder, bone, oksigen tetap diberikan, pemeliharaan cairan, dan menghitung skor Alderete. Skor Alderete menilai aktivitas motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan saturasi oksigen. Setelah skor Alderete ≥ 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan Butterworth, et al. 2013. 20 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI KESIMPULAN Ablasio retina merupakan terlepasnya sel fotoreseptor yang terlepas dari sel epitel di bawahnya. Apabila sudah terlepas, maka sel fotoreseptor tersebut tidak mendapatkan suplai oksigen dan nutrisi dari epitel sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Oleh karena itu diperlukan tindakan yang segera untuk mengatasi ablasio retina. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani ablasio retina adalah vitrektomi. Vitrektomi adalah tindakan yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan tindakan yang sulit, sehingga anestesi yang tepat untuk diberikan pada tindakan vitrektomi adalah anestesi umum. Oleh karena itu, diperlukan manajemen anestesi preoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif untuk mendukung keberhasilan operasi yang dilakukan. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak Rumah Sakit Abdul Moeloek yang telah memberikan data dan informasi sehingga terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Akbari S, Montazeri K, Dehghan A. 2015 Increase in Intraocular Pressure is Less with Propofol and Remifentanil than Isoflurane with Remifentanil During Cataract Surgery A Randomized Controlled Trial. Adv Biomed Res, 41, 55. Aronow WS. 2017. Management of Hypertension in Patients Undergoing Surgery. Ann Transl Med, 510, 3–5. Blair K, Cyzy C.2021. Retinal Detachment. Treasure Island StatPearl. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. New York Mc Graw Hill Education. Chalermkitpanit P, Rodanant O, Thaveepunsan W, Assavanop S. 2020. Determination of Dose and Efficacy of Atracurium for Rapid Sequence Induction of Anesthesia A Randomised Prospective Study. J Anaesthesiol Clin Pharmacol, 361, 37–42. De Hert S and Moerman A. Sevoflurane [v1; ref status indexed, F1000Research 2015, 4 F1000 Faculty Rev626. Feltgen N, Walter P. 2014. Rhegmatogenous Retinal Detachment-an Ophthalmologic Emergency. Dtsch Arztebl Int, 1111–2, 12–22. Folino TB, Muco E, Safadi AO, Park LJ. 2021. Propofol. Treasure Island StatPearl. Gill R, Goldstein S. 2021 Evaluation And Management of Perioperative Hypertension. Treasure Island StatPearl. Ilyas S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kwok JM, Yu CW, Christakis PG. 2020. Retinal Detachment. Cmaj, 19212, 312. Lonjaret L, Lairez O, Minville V, Geeraerts T. 2014. Optimal Perioperative Management of Arterial Blood Pressure. Integr Blood Press Control, 749–59. Luo J, Chen S, Min S, Peng L. 2018. Reevaluation and Update on Efficacy and Safety of Neostigmine for Reversal of Neuromuscular Blockade. Ther Clin Risk Manag, 142, 397–406. Martinez V, Guichard L, Fletcher D. 2015. Effect of Combining Tramadol and Morphine in Adult Surgical Patients A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Trials. Br J Anaesth [Internet]. 1143384–95. Available from Masjedi M, Zand F, Kazemi AP, Hoseinipour A. 2014. Prophylactic Effect of Ephedrine to Reduce Hemodynamic Changes Associated with Anesthesia Induction with Propofol and Remifentanil. J Anaesthesiol Clin Pharmacol, 302, 217–21. McKeever R, Hamilton R. 2021. Calcium Channel Blockers. Treasure Island StatPearl. McLendon K, Preuss C V. 2021. Atropine. Treasure Island StatPearl. McNicol ED, Ferguson MC, Schumann R. 2021. Single-dose Intravenous Ketorolac for Acute Postoperative Pain in Adults. Cochrane Database Syst Rev. 20215. Meng L, Yu W, Wang T, Zhang L, Heerdt PM, Gelb AW. 2018. Blood pressure targets in perioperative care provisional considerations based on a comprehensive literature review. Hypertension, 724, 806–17. Na SH, Jeong KH, Eum D, Park JH, Kim MS. 2018. Patient Quality of Recovery on The Day of Surgery After Propofol Total Intravenous Anesthesia for Vitrectomy A Randomized Controlled Trial. Med United States, 9740. 21 Vol 2, No 1, Februari 2022, p. 16-21 e-ISSN 2775-6963 p-ISSN 2775-6955 DOI Njoroge G, Kivuti-Bitok L, Kimani S. 2017. Preoperative Fasting among Adult Patients for Elective Surgery in a Kenyan Referral Hospital. Int Sch Res Not, 20171–8. Qureshi MH, Steel DHW. 2020. Retinal Detachment Following Cataract Phacoemulsification—A Review of The Literature. Springer Nat [Internet], 344616–31. Available from Ramos-Matos CF, Bistas KG, Lopez-Ozeda W. 2021. Fentanyl. Treasure Island StatPearl. Riordan-Eva P, Whitcher J. 2009. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta EGC. Sahinovic MM, Struys MMRF, Absalom AR. 2018. Clinical Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of Propofol. Clin Pharmacokinet [Internet], 5712, 1539–58. Available from Steel D. 2014. Retinal Detachment. BMJ Clin Evid. 2014, 1–32. Schwartz SG, Flynn HW. 2008. Pars Plana Vitrectomy for Primary Rhegmatogenous Retinal Detachment. Clin Ophthalmol, 21, 57–63. Yancey R. 2018. Anesthetic Management of The Hypertensive Patient Part II. Anesth Prog, 653, 206–13. Yorston D. 2018. Emergency Management Retinal Detachment. Community Heal J, 13103, 1530–5. Znaor L, Medic A, Binder S, Vucinovic A, Marin Lovric J, Puljak L. 2019. Pars Plana Vitrectomy Versus Scleral Buckling for Repairing Simple Rhegmatogenous Retinal Detachments. Cochrane Database Syst Rev, 20193. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this and Aims Succinylcholine and high dose rocuronium are neuromuscular blocking agents commonly used for rapid sequence induction of anesthesia. Their usage is limited or contraindicated in some circumstances. The aim of this study is to determine the dosage and efficacy of atracurium without priming for rapid sequence induction of anesthesia. Material and Methods One hundred fifteen surgical patients under general anesthesia were randomised into three groups. All patients were given 2-3 mg/kg propofol and 1 μg/kg fentanyl intravenously for the induction of anesthesia followed by different doses of atracurium mg/kg, mg/kg or 1 mg/kg without a priming dose. Tracheal intubation was performed within one minute after the administration of the study drugs. The intubating conditions, vocal cord movement and diaphragm movement were graded as the primary endpoints. Statistical analysis was done using one-way analysis of variance ANOVA and Post Hoc tests. Results Atracurium doses of 1 mg/kg, mg/kg, and mg/kg provided and success rates of intubation without coughing or bucking, respectively P = The intubating conditions were graded as excellent or good in of the 1 mg/kg atracurium group patients and in of the mg/kg group patients P 300 million surgical procedures performed every year globally. 2 We conducted a comprehensive literature search to examine studies that investigated the association between BP and outcome or the impact of a BP management strategy on outcomes in a perioperative setting. Based on the best available evidence and clinical experience, we propose provisional considerations to facilitate the determination of BP targets for an individual surgical patient. Literature Search We searched for studies that investigated the association between BP and outcome or the impact of a BP management strategy on outcomes in adult patients ≥18 years old receiving anesthesia and surgery. Studies focusing on the association of chronic hypertension, pulse pressure, BP variability, or deliberate hypotension with patient outcome were excluded. A librarian systematically searched the electronic bibliographic databases of Ovid MEDLINE, Embase, PubMed, and Web of Science 3×, with the last search conducted on June 1, 2018. Details of these searches are available on request. We also screened the relevant reference lists and performed nonsystematic searches of Google Scholar and PubMed, finally identifying 72 eligible articles, including 63 nonrandomized studies and 9 RCTs Table S1 in the online-only Data Supplement. The following discussion is divided based on the study design and type of surgery. Nonrandomized Studies Performed in Noncardiac Surgery The majority of studies, with the exception of a few outliers, 3-7 demonstrate that hypotension during a variety of noncardiac surgeries is associated with various unfavorable outcomes, including increased mortality, 8-23 longer hospitalization, 12,24 all-cause morbidity, 25 acute kidney injury, 26-31 myocardial injury, 9,17,26,28,29,32-38 postoperative congestive heart failure, 39 stroke, 23,38,40 postoperative cognitive decline, 41 postoperative delirium, 42 poor liver 16 and kidney 43 graft function, and post-esophagectomy anastomotic leakage. 44 The criteria for intraoperative hypotension used by these studies are widely diverse. Both absolute eg, mean arterial pressure [MAP], 160 mm Hg duration not specified during major noncardiac surgery with surgical duration >Propofol is an intravenous hypnotic drug that is used for induction and maintenance of sedation and general anaesthesia. It exerts its effects through potentiation of the inhibitory neurotransmitter γ-aminobutyric acid GABA at the GABAA receptor, and has gained widespread use due to its favourable drug effect profile. The main adverse effects are disturbances in cardiopulmonary physiology. Due to its narrow therapeutic margin, propofol should only be administered by practitioners trained and experienced in providing general anaesthesia. Many pharmacokinetic PK and pharmacodynamic PD models for propofol exist. Some are used to inform drug dosing guidelines, and some are also implemented in so-called target-controlled infusion devices, to calculate the infusion rates required for user-defined target plasma or effect-site concentrations. Most of the models were designed for use in a specific and well-defined patient category. However, models applicable in a more general population have recently been developed and published. The most recent example is the general purpose propofol model developed by Eleveld and colleagues. Retrospective predictive performance evaluations show that this model performs as well as, or even better than, PK models developed for specific populations, such as adults, children or the obese; however, prospective evaluation of the model is still required. Propofol undergoes extensive PK and PD interactions with both other hypnotic drugs and opioids. PD interactions are the most clinically significant, and, with other hypnotics, tend to be additive, whereas interactions with opioids tend to be highly synergistic. Response surface modelling provides a tool to gain understanding and explore these complex interactions. Visual displays illustrating the effect of these interactions in real time can aid clinicians in optimal drug dosing while minimizing adverse effects. In this review, we provide an overview of the PK and PD of propofol in order to refresh readers’ knowledge of its clinical applications, while discussing the main avenues of research where significant recent advances have been Postoperative pain is common and may be severe. Postoperative administration of non-steroidal anti-inflammatory drugs NSAIDs reduces patient opioid requirements and, in turn, may reduce the incidence and severity of opioid-induced adverse events AEs. Objectives To assess the analgesic efficacy and adverse effects of single-dose intravenous ketorolac, compared with placebo or an active comparator, for moderate to severe postoperative pain in adults. Search methods We searched the following databases without language restrictions CENTRAL, MEDLINE, Embase and LILACS on 20 April 2020. We checked clinical trials registers and reference lists of retrieved articles for additional studies. Selection criteria Randomized double-blind trials that compared a single postoperative dose of intravenous ketorolac with placebo or another active treatment, for treating acute postoperative pain in adults following any surgery. Data collection and analysis We used standard methodological procedures expected by Cochrane. Our primary outcome was the number of participants in each arm achieving at least 50% pain relief over a four- and six-hour period. Our secondary outcomes were time to and number of participants using rescue medication; withdrawals due to lack of efficacy, adverse events AEs, and for any other cause; and number of participants experiencing any AE, serious AEs SAEs, and NSAID-related or opioid-related AEs. For subgroup analysis, we planned to analyze different doses of parenteral ketorolac separately and to analyze results based on the type of surgery performed. We assessed the certainty of evidence using GRADE. Main results We included 12 studies, involving 1905 participants undergoing various surgeries pelvic/abdominal, dental, and orthopedic, with 17 to 83 participants receiving intravenous ketorolac in each study. Mean study population ages ranged from years to years. Most studies administered a dose of ketorolac of 30 mg; one study assessed 15 mg, and another administered 60 mg. Most studies had an unclear risk of bias for some domains, particularly allocation concealment and blinding, and a high risk of bias due to small sample size. The overall certainty of evidence for each outcome ranged from very low to moderate. Reasons for downgrading certainty included serious study limitations, inconsistency and imprecision. Ketorolac versus placebo Very low-certainty evidence from eight studies 658 participants suggests that ketorolac results in a large increase in the number of participants achieving at least 50% pain relief over four hours compared to placebo, but the evidence is very uncertain risk ratio RR 95% confidence interval CI to The number needed to treat for one additional participant to benefit NNTB was 95% CI to Low-certainty evidence from 10 studies 914 participants demonstrates that ketorolac may result in a large increase in the number of participants achieving at least 50% pain relief over six hours compared to placebo RR 95% CI to The NNTB was 95% CI to Among secondary outcomes, for time to rescue medication, moderate-certainty evidence comparing intravenous ketorolac versus placebo demonstrated a mean median of 271 minutes for ketorolac versus 104 minutes for placebo 6 studies, 633 participants. For the number of participants using rescue medication, very low-certainty evidence from five studies 417 participants compared ketorolac with placebo. The RR was 95% CI to that is, it did not demonstrate a difference between groups. Ketorolac probably results in a slight increase in total adverse event rates compared with placebo 74% versus 65%; 8 studies, 810 participants; RR 95% CI to number needed to treat for an additional harmful event NNTH 95% CI to infinite, moderate-certainty evidence. Serious AEs were rare. Low-certainty evidence from eight studies 703 participants did not demonstrate a difference in rates between ketorolac and placebo RR 95% CI to Ketorolac versus NSAIDs Ketorolac was compared to parecoxib in four studies and diclofenac in two studies. For our primary outcome, over both four and six hours there was no evidence of a difference between intravenous ketorolac and another NSAID low-certainty and moderate-certainty evidence, respectively. Over four hours, four studies 337 participants produced an RR of 95% CI to and over six hours, six studies 603 participants produced an RR of 95% CI to For time to rescue medication, low-certainty evidence from four studies 427 participants suggested that participants receiving ketorolac waited an extra 35 minutes mean median 331 minutes versus 296 minutes. For the number of participants using rescue medication, very low-certainty evidence from three studies 260 participants compared ketorolac with another NSAID. The RR was 95% CI to that is, there may be little or no difference between groups. Ketorolac probably results in a slight increase in total adverse event rates compared with another NSAID 76% versus 68%, 5 studies, 516 participants; RR 95% CI to NNTH 95% CI to infinite, moderate-certainty evidence. Serious AEs were rare. Low-certainty evidence from five studies 530 participants did not demonstrate a difference in rates between ketorolac and another NSAID RR 95% CI to Only one of the five studies reported a single serious AE. Authors' conclusions The amount and certainty of evidence for the use of intravenous ketorolac as a treatment for postoperative pain varies across efficacy and safety outcomes and amongst comparators, from very low to moderate. The available evidence indicates that postoperative intravenous ketorolac administration may offer substantial pain relief for most patients, but further research may impact this estimate. Adverse events appear to occur at a slightly higher rate in comparison to placebo and to other NSAIDs. Insufficient information is available to assess whether intravenous ketorolac has a different rate of gastrointestinal or surgical-site bleeding, renal dysfunction, or cardiovascular events versus other NSAIDs. There was a lack of studies in cardiovascular surgeries and in elderly populations who may be at increased risk for adverse Rhegmatogenous retinal detachment RRD is a separation of neurosensory retina from the underlying retinal pigment epithelium. It is caused by retinal tears, which let fluid pass from the vitreous cavity to the subretinal space. Pars plana vitrectomy PPV, scleral buckling surgery and pneumatic retinopexy are three accepted management strategies whose efficacy remains controversial. Pneumatic retinopexy is considered in a separate Cochrane Review. Objectives The primary objective of this review was to assess the efficacy of PPV versus scleral buckling for the treatment of simple RRD primary RRD of any extension with up to two clock hours large breaks regardless of their anterior/posterior localisation in people with phakia or without aphakia a natural lens in the eye, or with an artificial lens pseudophakia. A secondary objective was to assess any data on economic and quality-of-life measures. Search methods We searched CENTRAL, which contains the Cochrane Eyes and Vision Trials Register; MEDLINE; Embase; LILACS; the ISRCTN registry; and the WHO ICTRP. The date of the search was 5 December 2018. Selection criteria We included randomised controlled trials RCTs comparing PPV versus scleral buckling surgery with at least three months of follow-up. Data collection and analysis We used standard Cochrane methodology. Two review authors independently extracted the data and study characteristics from the studies identified as eligible after initial screening. We considered the following outcomes primary retinal reattachment, postoperative visual acuity, final anatomical success, recurrence of retinal detachment, number of interventions needed to achieve final anatomical success, quality of life and adverse effects. We assessed the certainty of evidence using GRADE. Main results This review included 10 RCTs 1307 eyes of 1307 participants from Europe, India, Iran, Japan and Mexico, which compared PPV and scleral buckling for RRD repair. Two of these 10 studies compared PPV combined with scleral buckling with scleral buckling alone 54 participants. All studies were high or unclear risk of bias on at least one domain. Five studies were funded by non-commercial sources, while the other five studies did not report source of was little or no difference in the proportion of participants who achieved retinal reattachment at least 3 months after the operation in the PPV group compared to those in the scleral buckling group risk ratio RR 95% confidence intervals CI to 9 RCTs, 1261 participants, low-certainty evidence. Approximately 67 in every 100 people treated with scleral buckling had retinal reattachment by 3 to 12 months. Treatment with PPV may result in 4 more people with retinal reattachment in every 100 people treated 95% confidence interval CI 2 fewer to 11 more.There was no evidence of any important difference in postoperative visual acuity between participants in the PPV group compared to those in the scleral buckling group mean difference MD logMAR, 95% CI to 6 RCTs, 1138 participants, low-certainty evidence.There was little or no difference in final anatomical success between participants in the PPV group and scleral buckling group RR 95% CI to 9 RCTs, 1235 participants, low-certainty evidence. There were 94 out of 100 people treated with control scleral buckling that achieved final anatomical success compared to 96 out of 100 in the PPV redetachment was reported in fewer participants in the PPV group compared to the scleral buckling group RR 95% CI to 9 RCTs, 1320 participants, low-certainty evidence. Approximately 28 in every 100 people treated with scleral buckling had retinal detachment by 3 to 36 months. Treatment with PPV may result in seven fewer people with retinal detachment in every 100 people treated 95% CI 1 to 11 fewer.Participants treated with PPV on average needed fewer interventions to achieve final anatomical success but the difference was small and data were skewed MD 95% CI to 2 RCTs, 682 participants, very low-certainty evidence.Very low-certainty evidence on quality of life suggested that more people in the PPV group were "satisfied with vision" compared with the scleral buckling group RR 95% CI to 1 RCT, 32 participants.All included studies reported adverse effects, however, it was not always clear whether they were reported as number of participants or number of adverse effects. Cataract development or progression was more prevalent in the PPV group RR 95% CI to choroidal detachment was more prevalent in the scleral buckling group RR 95% CI to and new/iatrogenic breaks were observed only in the PPV group RR 95% CI to Estimates of the relative frequency of other adverse effects, including postoperative proliferative vitreoretinopathy, postoperative increase in intraocular pressure, development of cystoid macular oedema, macular pucker and strabismus were imprecise. Evidence for adverse effects was low-certainty evidence. Authors' conclusions Low- or very low-certainty evidence indicates that there may be little or no difference between PPV and scleral buckling in terms of primary success rate, visual acuity gain and final anatomical success in treating primary RRD. Low-certainty evidence suggests that there may be less retinal redetachment in the PPV group. Some adverse events appeared to be more common in the PPV group, such as cataract progression and new iatrogenic breaks, whereas others were more commonly seen in the scleral buckling group such as choroidal YanceyHypertension is an important health challenge that affects millions of people across the world today and is a major risk factor for cardiovascular disease. It is critical that anesthesia providers have a working knowledge of the systemic implications of hypertension. This review article will discuss the medical definitions of hypertension, the physiology of maintaining blood pressure, outpatient treatment of hypertension, anesthetic implications, and the common medications used by anesthesia providers in the treatment of hypertension. Part I provided an overview of hypertension and blood pressure regulation. In addition, drugs predominantly affecting control of hypertension via renal mechanisms such as diuretics, angiotensin-converting enzyme inhibitors, angiotensin receptor blockers, and renin-inhibiting agents were discussed. In part II, the remaining major antihypertensive medications will be reviewed as well as anesthetic implications of managing patients with hypertension.
Retina adalah bagian dari mata yang bertugas mengirimkan gambar melalui syaraf optik ke otak. Retina terdiri dari jutaan sel yang mendeteksi cahaya seperti kamera. Letaknya di bagian belakang bola mata dan sangat penting untuk penglihatan. [3, 4]Ablasio retina adalah kondisi dimana retina tertarik atau terlepas dari posisi normalnya dan menyebabkan gangguan penglihatan. Operasi ablasio retina adalah prosedur untuk memperbaiki kondisi ini. [1]Daftar isiFungsi dan Tujuan Operasi Ablasio RetinaJenis dan Prosedur Operasi Ablasio Retina1. Pneumatic Retinopexy2. Scleral Buckle3. VitrectomyTingkat Keberhasilan Operasi Ablasio RetinaRisiko Operasi Ablasio RetinaAblasio retina disebut juga retina detachment terjadi ketika retina lepas dari bagian belakang mata, dan akibatnya akan kehilangan suplai darah dan oksigen. Tanpa suplai ini, sel retina akan mati perlahan.[1, 2, 3, 4]Jika kondisi ini tidak segera ditangani maka akan menyebabkan kerusakan permanen pada penglihatan. Gejala ablasio retina bisa termasuk [4]Ada bayangan-bayangan hitam yang bergerak di depan mataSeperti ada tirai yang menutupi pandanganAda kilatan-kilatan cahayaKondisi ini bisa terjadi karena faktor usia atau cedera pada ablasio retina adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengembalikan sirkulasi darah ke retina dan mempertahankan penglihatan pasien. Jika terjadi gejala-gejala yang disebutkan diatas, maka pasien harus segera memeriksakannya. [1]Jika terlambat ditangani, ablasio retina bisa menyebabkan kebutaan. Ini sebabnya operasi ablasio retina termasuk dalam jenis pembedahan darurat yang harus segera dilakukan di awal munculnya gejala untuk mencegah terjadinya komplikasi yang serius. [1, 2, 3, 4]Hampir semua pasien yang mengalami ablasio retina harus melakukan operasi untuk mengembalikan retina ke posisisnya semula. Jika tidak, retina akan kehilangan fungsinya. Metode untuk memperbaiki kondisi ini tergantung pada karakteristik lepasnya dan Prosedur Operasi Ablasio RetinaAda beberapa jenis operasi untuk memperbaiki retina yang lepas. Jika hanya terjadi robekan kecil pada retina, maka bisa diobati dengan pembekuan cryotherapy, atau prosedur laser photokoagulasi. [2]Karena operasi ablasio retina termasuk pembedahan darurat, maka pasien biasanya akan langsung menjalani prosedur begitu selesai akan memeriksa kondisi retina lebih dulu melalui dilated eye exam. Pemeriksaan ini sederhana dan tidak sakit – dokter akan meneteskan cairan ke mata pasien untuk memperbesar pupil, kemudian melihat posisi retina di bagian belakang mata. [4]Jika dokter masih membutuhkan informasi tambahan setelah pemeriksaan ini, maka pasien mungkin perlu menjalani ultrasound atau optical coherence tomography OCT. [4]Tiap kondisi lepasnya retina membutuhkan jenis operasi yang berbeda serta tingkat anestesi yang berbeda pula. Jenis operasi tergantung pada seberapa berat ablasio retina 3 jenis operasi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki posisi retina [1, 4]1. Pneumatic RetinopexyPada operasi jenis ini, dokter akan menyuntikkan gelembung udara kecil ke mata. Gelembung ini akan mendorong retina kembali ke tempatnya, kemudian dokter akan menggunakan laser atau pembekuan untuk memperbaiki lubang atau robekan pada prosedur ini, dokter akanMemberikan obat bius lokal pada mata agar pasien tidak merasakan nyeri dan bisa tetap nyaman selama pembedahan berlangsungMemasukkan jarum kecil ke mata, kemudian mengambil sedikit cairanMenyuntikkan sejumlah kecil udara ke mataMenggunakan laser atau pembekuan untuk memperbaiki lubang atau robekan retinaPasien masih bisa melihat gelembung udara ini di bagian samping penglihatan peripheral vision setelah pembedahan selesai. Namun, seiring waktu, gelembung ini akan hilang dengan pembedahan, pasien harusMenahan kepala pada posisi tertentu selama beberapa hari untuk menjaga agar gelembung udara tetap pada tempatnyaMenghindari beberapa aktivitas selama masa pemulihan; seperti naik pesawat, melakukan olahraga yang intens, serta mengangkat barang-barang yang beratMelakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan pemulihan mata berjalan dengan baikPasien harus segera menghubungi dokter jika penglihatan semakin mengabur atau timbul rasa nyeri dan terjadi pembengkakan yang Scleral BucklePada operasi jenis ini, dokter akan memasang semacam plester kecil yang fleksibel di sekeliling bagian putih mata. Bagian mata ini disebut plester ini akan bergerak pelan ke bagian sisi mata dan terus masuk hingga mencapai retina, kemudian membantu retina kembali ke posisi ini akan terpasang permanen di mata setelah pembedahan selesai. Jika ada lubang atau robek pada retina, dokter akan memperbaikinya menggunakan laser atau pasien mendapat bius total pada prosedur ini, sehingga akan tertidur sepanjang operasi dan tidak merasakan apapun. Setelah operasi, mata akan terasa sedikit pedih. Untuk itu, pasien harusMengenakan penutup mata selama kira-kira satu hariMenghindari beberapa aktivitas hingga mata sembuh, seperti mengangkat barang-barang berat atau berolahraga intensMelakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan pemulihan berjalan baik3. VitrectomyIni adalah jenis operasi untuk memperbaiki ablasio retina yang serius. Biasanya dilakukan di ruang bedah rumah sakit dan menggunakan bius gel, yang menyebabkan retina tertarik, akan diangkat dari mata kemudian diganti dengan gelembung gas yang akan mendorong retina kembali ke posisinya beberapa kasus, gelembung minyak digunakan sebagai pengganti gelembung gas untuk menjaga retina tetap ada pada tempatnya. Cairan alami tubuh akan perlahan menggantikan gelembung gas, namun gelembung minyak harus diambil dari mata di kemudian hari melalui prosedur vitrectomy dilakukan bersamaan dengan scleral buckle. Jika vitrectomy menggunakan gelembung gas, maka setelah pembedahan pasien harusMenahan kepala pada posisi tertentu selama beberapa hariMenghindari bepergian naik pesawat terbang, karena bisa menyebabkan tekanan yang membahayakan mataMenghindari mengangkat barang berat atau berolahraga intensJika gelembung yang digunakan adalah gelembung minyak, maka aman untuk naik Keberhasilan Operasi Ablasio RetinaKeberhasilan operasi ablasio retina adalah 9 dari 10 prosedur, di mana retina bisa diperbaiki dan dikembalikan ke posisi semula hanya dengan satu kali kasus lainnya, pemasangan kembali retina membutuhkan lebih dari satu kali operasi dengan tingkat keberhasilan lebih dari 95 persen. [1, 3, 4]Keberhasilan operasi perbaikan retina ini juga tergantung pada seberapa serius kondisi kerusakan dan lepasnya retina pasien, serta seberapa banyak jaringan parut yang terbentuk di retina. Jika bagian tengah retina macula tidak terdampak, maka penglihatan akan kembali macula lepas dalam jangka waktu yang cukup lama, maka sebagian dari penglihatan mungkin bisa kembali, namun seringnya kurang dari 20/200, yang artinya mendekati kebutaan. [3]Diperlukan sekitar beberapa bulan masa pemulihan setelah operasi untuk menentukan seberapa banyak penglihatan bisa benar-benar Operasi Ablasio RetinaSetiap jenis pembedahan selalu memiliki risiko, begitu juga dengan operasi ablasio operasi menggunakan bius total, maka mungkin mempengaruhi pernafasan atau menyebabkan reaksi alergi. Selain itu, beberapa risiko lainnya termasuk [4]Katarak lensa mata menjadi keruhGlaucoma meningkatnya tekanan pada bola mataInfeksiPendarahan di ceruk vitreousKehilangan penglihatanMedical Research & Source ↓
15 de dezembro de 2022 Revisado por Dr. Mário Farinazzo - CRM/SP A cirurgia de silicone é uma febre no Brasil há muitos anos. É difícil não conhecer ao menos uma mulher que não tenha considerado ou que ainda deseje passar pelo procedimento. Pelo grande interesse do público no tema, abaixo listamos as principais técnicas utilizadas para a realização da operação, e em quais situações cada uma delas é recomendada. Existem dois tipos de classificação quando o assunto é a cirurgia de implante de prótese mamária, ou cirurgia de silicone. Uma se refere à região onde ficará o implante e outra relacionada à região da incisão. Quais são as posições dos implantes de silicone? Quanto à posição do implante, a cirurgia de silicone pode ser de dois tipos submamária e submuscular. Cirurgia Submamária Nas cirurgias submamárias, a prótese é implantada entre os tecidos mamário e muscular. A técnica tem como vantagens um resultado mais natural, menor tempo de recuperação e uma menor complexidade na cirurgia se comparada à submuscular. O resultado mais natural acontece porque a prótese não se movimenta com a contração muscular, o que ocorre com mais frequência na técnica que descreveremos a seguir. Porém, a implantação submamária não é indicada para pessoas que tenham um tecido mamário ou pele muito finas, caso contrário, a prótese pode ficar muito evidente, o que pode atrapalhar o resultado estético final. Cirurgia Submuscular Como o próprio nome já sugere, a implantação submuscular é mais profunda. Nesse tipo de cirurgia, a prótese fica abaixo dos músculos do peito. Ela é recomendada justamente no caso descrito acima, de mulheres que possuem pouca pele ou tecido mamário. Para essas pacientes, a posição submuscular é a mais adequada. Região da incisão de implante mamário Existem três tipos de incisões nas cirurgias de implante mamário Periareolar – O corte periareolar é aquele feito na região limítrofe da aréola. A técnica tem como principal vantagem deixar uma cicatriz pouco visível, que se confunde com a própria divisão da aréola com o resto da mama. O impeditivo para esse tipo de incisão é o tamanho da aréola, caso ela seja muito pequena ela pode inviabilizar a passagem da prótese e resultar em uma cicatriz que pode incomodar a paciente. Inframamária – Nesse caso o corte é feito na região inferior dos seios. As cicatrizes também são discretas nesse tipo de cirurgia, porém, menos do que na incisão Periareolar. Uma vantagem na incisão inframamária é o rápido tempo de recuperação. Axilar – A incisão axilar é aquela feita na região das axilas. Apesar de não deixar cicatriz nas mamas, e sim nas axilas, a região do corte faz com que a cirurgia seja mais complexa do que as demais, por isso, ela é escolhida com menos frequência. O que fazer logo após a cirurgia de silicone? A primeira fase da recuperação começa ainda no centro cirúrgico, onde a paciente ficará internada por um período de até 12 horas. Este tempo é importante para que o médico possa avaliar a condição da paciente após a cirurgia de implante de silicone e esperar os efeitos da anestesia passarem. Normalmente, após confirmado o estado de saúde da paciente, receberá alta e poderá ir para casa, sem dirigir. Depois, em casa, continuam os cuidados e a limitação de mobilidade por pelo menos 30 dias. Para mais informações sobre esse ou outro procedimento e demais técnicas realizadas por nossa clínica, acompanhe nosso blog. Você também pode entrar em contato por meio de nosso formulário para agendar uma consulta! Artigos relacionados Como é a recuperação após implantes de silicone? Tipos de Prótese de Silicone – Escolha o Formato Ideal Quais são os tipos de mamoplastia?
operasi pengambilan silikon pada ablasio retina